Sabtu, 28 Agustus 2010

UNTUNG ADA ORANG BALI

UNTUNG ADA ORANG BALI

Andi A.Mallarangeng, dikutip dari harian Jurnal Nasional

Untuk kesekian kalinya Presiden SBY menghadiri pesta kesenian Bali, yang makin lama makin meriah. Pariwisata memang mulai pulih di Bali, tapi kita tidak bisa take it for granted, walau Pulau Bali tetap menjadi World’s Best Island menurut majalah parawisata terkenal Travel and Leisure. Bahkan, pesta kesenian akbar tersebut juga diikuti oleh peserta dari propinsi lain, dan juga dari mancanegara. Presiden SBY sangat menaruh perhatian terhadap pengembangan parawisata kita karena pariwisata memutar perekonomian negara, menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tapi aset utama Bali bukan hanya alamnya yang indah, tetapi juga orang Bali dan budayanya yang menarik dan unik. Tari-tarian Bali yang cantik dan ekspresif, religiusitasnya yang dalam, serta berbagai upacara adat dan agama menjadikannya pantas mendapat sebutan sebagai Pulau Dewata. Tapi yang tak kalah pentingnya adalah orang Bali itu sendiri. Sifatnya yang ramah, murah senyum, terbuka dan toleran, santun, dan jujur, adalah juga aset utama Bali sebagai tujuan pariwisata dunia.

Tapi kali ini saya ingin berbicara tentang mengapa bangsa kita beruntung ada orang Bali di dalamnya. Ketika Presiden SBY berkunjung ke Poso, Sulawesi Tengah, untuk memperkuat damai pasca-konflik, menarik dilihat bahwa konflik Poso tidak sampai menjalar dan merebak di kabupaten lain di Sulawesi Tengah, atau di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, yang berbatasan dengan Kabupaten Poso. Ternyata hal itu disebabkan, salah satunya, karena adanya kantong-kantong transmigran dari Bali, misalnya di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, ataupun di daerah Luwu, Sulawesi Selatan. Kantong-kantong transmigran asal Bali ini, yang biasanya maju pertaniannya, menjadi buffer zones yang mencegah meluasnya konflik.

Selama konflik di Poso, komunitas Bali yang Hindu tidak ingin terlibat dan bahkan menjadi penengah serta jembatan dalam konflik antara kelompok Muslim dan Kristen setempat. Begitu juga selama konflik di Ambon antara komunitas Muslim dan Kristen, kehadiran perwira dan prajurit TNI, serta perwira dan petugas polisi yang berasal dari Bali memudahkan kerja aparat keamanan. Karena mereka Hindu, karena mereka santun, karena mereka tidak terlibat dengan berbagai konflik setempat, mereka lebih mudah berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkonflik dan mendapatkan kepercayaan dari mereka.

Ini bukti bahwa keragaman budaya dan suku bangsa menjadi berkah bagi Bangsa Indonesia. Ketika konflik merebak di Aceh, aparat pertahanan dan keamanan asal Bugis-Makassar, yang mempunyai budaya dan sifat yang mirip, akan lebih luwes bertugas. Sebaliknya ketika menghadapi Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, pasukan Kodam Siliwangi mampu mengambil hati rakyat Sulawesi Selatan. Demikian pula orang-orang Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) memberi andil besar bagi pembangunan di Sumatera, sembari menjadi stabilisator ketegangan antar suku setempat.

Ya, kita butuh orang Bali di TNI, di polisi, di berbagai sektor pemerintahan, bahkan juga di dunia swasta. Seperti juga kita butuh orang Batak, orang Dayak, orang Maluku, orang Papua, orang Jawa, orang Sunda, orang Minahasa, dan semua suku-suku bangsa kita di semua lini pemerintahan maupun swasta, di semua sektor kehidupan bangsa, di daerah maupun di pusat.

Kita beruntung ada orang Bali, kita beruntung ada beragam suku bangsa yang membangun Bangsa Indonesia. Kita Bhinneka, tapi tetap Tunggal Ika.

1 komentar: