Sabtu, 28 Agustus 2010

Kampung Bali di Parigi Moutong

Kampung Bali di Parigi Moutong

By posocity

Berjalan-jalan di beberapa desa di Kecamatan Torue, Sausu, Balinggi, di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tak ubahnya pelesir ke desa-desa di Pulau Bali. Pura dengan beragam ukiran dan warna serta pagar dan gapura di halaman depan rumah warga kental bernuansa Bali. Dilatarbelakangi persawahan yang luas nan subur, desa-desa ini tampak begitu hidup dengan aktivitas warga di sawah, jalan, tempat penggilingan padi, dan pasar. Desa-desa ini dihuni warga etnis Bali yang datang sebagai transmigran. Tak bisa dimungkiri, keberadaan warga transmigran ini membuat Parigi Moutong menjadi salah satu sentra beras di Sulteng.

Sekadar gambaran, produksi Parigi Moutong mencapai lebih dari 241.000 ton gabah kering giling pada tahun 2008. Surplusnya tiap tahun lebih dari 100.000 ton beras. Sebanyak 50 persen pengadaan Bulog Sulteng untuk program raskin dipasok dari Parigi Moutong. Selebihnya dipasarkan ke Palu, Tolitoli, Buol, hingga Gorontalo dan Manado, Sulawesi Utara.

Produktivitas padi yang mencapai 5,2 ton per hektar, di atas rata-rata nasional 4,8 ton per hektar, menempatkan Parigi Moutong menjadi salah satu dari 10 kabupaten terbaik di tingkat nasional sebagai penghasil beras. Di sejumlah desa, produktivitas bahkan mencapai 7-9 ton per hektar. Warga transmigran juga sukses membuka lapangan kerja di sektor perdagangan, perkebunan, industri kecil, dan lainnya.

Kepala Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Parigi Moutong I Wayan Sariana mengatakan, keberadaan transmigran di daerah ini bukan sekadar memecahkan masalah tenaga kerja nasional. Di Parigi, wilayah transmigrasi seperti gurita yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. ”Walau kecil, unit-unit usaha yang dikelola transmigran menyerap tenaga kerja lokal,” kata Sariana.

Tumbuh dan berkembangnya wilayah yang jadi lokasi transmigrasi diakui Bupati Parigi Moutong Longki Djanggola membuat wilayah yang bukan lokasi transmigrasi agak tertinggal. Ini antara lain bisa dilihat dari angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Parigi Moutong tahun 2007, rumah tangga miskin terbanyak ada di Kecamatan Tomini yang bukan wilayah transmigrasi, yaitu mencapai 44,69 persen dari 8.790 penduduk. Bandingkan dengan persentase rumah tangga miskin di Kecamatan Parigi Selatan yang hanya 21,37 persen dari 4.188 penduduk atau Sausu yang 22,46 persen dari 8.131 penduduk. Kedua kecamatan itu merupakan wilayah transmigrasi.

Budaya dan etos kerja

Keberhasilan transmigran menjadikan Parigi Moutong sebagai sentra beras tak lepas dari etos kerja dan budaya gotong royong warga Bali dalam kehidupan sehari-hari. Di desa-desa yang dihuni warga Bali, para petani sudah berada di sawah saat ayam berkokok. Pukul 08.00 Wita, saat istri atau anak datang membawa sarapan, mereka berhenti sejenak bekerja. Setelah itu, aktivitas di sawah atau kebun dilanjutkan hingga waktu makan siang, diteruskan hingga petang.

Budaya gotong royong juga sangat kental, di antaranya memperbaiki saluran irigasi dan jalan. Ada sanksi bagi anggota kelompok tani yang enggan bergotong royong. Sanksi itu mulai dari membayar denda hingga dikucilkan dari komunitas.

”Biasanya panggilan untuk bergotong royong dilakukan dengan memukul kentungan. Satu kali kentungan tidak datang, dendanya Rp 5.000. Jumlah ini berlipat ganda, tergantung dari berapa kali kentungan berbunyi dan tidak diindahkan. Kalau tidak ikut memperbaiki saluran irigasi, dendanya satu kuintal gabah per hektar yang diserahkan kepada kelompok tani pada saat panen,” kata I Made Sanuk, Kepala Desa Astina, Kecamatan Torue.

Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Parigi Moutong Nahyun Biantong, mereka terkenal dengan sistem pertanian yang baik dan berusaha mentransfer pengetahuan kepada petani lain. ”Hasilnya, bukan hanya keberhasilan mereka raih, pemerintah juga tertolong,” katanya.

Daerah pembuangan Belanda

Sejarah transmigrasi di Bumi Toraranga (sebutan untuk Parigi Moutong) dan kisah sukses warga Bali tak lepas dari sejarah zaman kolonial. Dimulai tahun 1898, saat 12 orang Bali—di antaranya ada keturunan Raja Buleleng—dianggap pembangkang dan dibuang Belanda ke Parigi. Belanda berharap ke-12 orang itu tidak dapat bertahan hidup di daerah yang masih berupa hutan belantara tersebut.

Nyatanya, pemerintah kolonial Belanda salah. Semangat hidup dan etos kerja yang tinggi dari ke-12 orang buangan ini membuat mereka bisa bertahan hidup.

Memanfaatkan tanah yang subur dan kekayaan alam Parigi, mereka sukses membuka hutan menjadi lahan pertanian dan kebun. Dari tahun ke tahun, daerah yang ditempati ke-12 orang buangan ini berkembang menjadi kawasan pertanian.

”Belanda akhirnya memutuskan mengembangkan wilayah pembuangan ini dan membina orang-orang yang dulunya dibuang. Kemudian didatangkan lagi orang-orang dari Bali serta orang dari Manado, Gorontalo, dan daerah lain,” kata I Ketut Sukragia (65), tokoh agama dan masyarakat Bali di Parigi Moutong.

Sukragia adalah keturunan I Ketut Dangin, salah satu dari ke-12 orang yang dibuang Belanda ke Parigi.

Tahun 1930 Belanda membebaskan orang-orang buangan itu dan memberikan pilihan untuk kembali ke Bali atau menetap. Banyak di antara mereka dan keturunannya yang memilih tinggal.

Kisah sukses mereka terus tersebar dari mulut ke mulut sehingga warga Bali lain memutuskan mengikuti jejak pendahulunya, bertransmigrasi ke Parigi Moutong. Keputusan yang tidak salah sebab mereka kini berhasil di Bumi Toraranga. (Kompas, Reny S. A. Taslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar